Minggu, 02 Oktober 2011

Tema Besar Hidupku

Aku masih berjuang melawan stres yang mengangkang di mentalku. Yang terasa, perjuangan itu seakan terjawab dan semakin membuahkan hasil, meski kecil-kecil.

Hingga suatu pagi, aku terbangun dengan pening karena flu semalam. Suami sudah pergi sejak subuh tadi. Lagi-lagi, hanya keheningan yang terasa di tempat tidur. Tiada apapun di sekeliling, hanya anakku yang masih terlelap dengan piyamanya. Wajahnya bersih, polos, manis sekali.

Lalu timbul pertanyaan, "Apakah hari ini akan berbeda dari kemarin-kemarin? Apakah hari ini tetap depresi? Apakah anak ini akan kuaniaya lagi? Apakah aku manusia hari ini?"

Tak terjawab, akupun membenamkan diri dalam sejuta tugas ibu rumahtangga. Kegiatan mencuci yang membuat kepala terasa berputar tak henti. Membersihkan rumah, ya sedikit menenangkan hati karena setiap sudut bersih kini. Juga memasak, menyiapkan santapan bila si kecil bangun dan merasa lapar nanti. Belum selesai semua, anakku bangun.

"Bunda, Ganesh mau makan," maka terpaksalah kukebut masakku. Lalu mandi, kemudian menyuapi, barulah bisa menaruh pantat di kursi setelah rentetan kerja keras tadi. Haah, enaknya. Badan terasa lelah. Dan duduk ini seakan menjadi rezeki yang amat agung karena saking nikmatnya.

Tapi tak lama, karena tiba-tiba Ganesh pulang dengan menangis. Di mulutnya ada pasir dan air berwarna hitam. Badannya pun kotor, seperti belepotan air selokan. Oh, rupanya Ganesh jatuh ke selokan di depan rumah saat tadi main dengan teman-temannya.

Darahku naik. Tapi kuperhatikan dia tidak menangis kencang, hanya mulut saja komat-kamit sibuk meludahkan kotoran dari mulutnya. Berarti jatuhnya tidak sakit.

Aku tanya kenapa, Ganesh tidak jawab. Masih sibuk meludah. Aku bawa ke kamar mandi, buru-buru kubersihkan mulutnya. Sesaat aku mau marah, tapi Ganesh justru dengan cerianya bercerita, tepat ketika mulutnya selesai kubersihkan.

"Tadi main mbem-mbeman (mobil-mobilan), eh Kak Bian (tetangga kami) dolong mobil Dede, eh Dede jatoh, duk! gitu."

Aku menatapnya. Ganesh tidak memikirkan sakitnya. Pergi main ke luar rumah selalu menyenangkan buatnya, karena disana ia refreshing. Kasihan juga selalu memenjaranya di rumah.

Akhirnya aku luluh. Marah-marah juga rasanya tak guna. Ini tentu bukan salah Ganesh, iapun juga tak mau. Dan mungkin kalau ia bisa mandi sendiri, ia juga tak mau merepotkanku untuk memandikannya. Akulah satu-satunya pusat kehidupannya.

Aku tersentuh. Ganesh telah memberiku pelajaran.
Siapapun bisa jatuh hingga terpuruk. Jatuh itupun telah ditakdirkan Tuhan jauh sebelum kita lahir. Tapi ternyata Ia tak sekedar menjatuhkan kita dalam cobaanNya yang tersulit, karena di antara badaiNya, Ia tetap menyayangi kita. Ia kirimkan malaikat-malaikatnya untuk menggenggam dan menguatkan kita agar kita bangkit keluar dari badai. Dan tentu akan sangat berarti, bila kitapun bisa menjadi penuntun bagi setiap orang yang tengah diterpa badai hingga selamat dari semua itu. Seperti aku, artiku untuk si kecil Ganesh.

Maka kupadamkan amarahku karena kenakalan Ganesh pagi ini.
"Gapapa Ganesh jatoh, kan bisa dibersihkan Bunda. Tapi Ganeshnya seneng nggak?" tanyaku di ujung peristiwa.

"Seneng donk," jawabnya sambil tersenyum.

Hatiku tenang. Dan duduk lagi, mensyukuri rezeki.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Send me your words