Minggu, 02 Oktober 2011

My Own Eat-Pray-Love

Watching Eat Pray Love with him and my lil' one. And I love it.

Yang pertama kentara adalah Julia Robert, aktrisnya, sudah mulai kelihatan dimakan usia, namun tetap cantik dengan gayanya yang natural.

Liz, tokoh cerita, membuatku berkaca. Tentang pernikahannya, tentang ceritanya terjebak dalam impian ideal. Dan tentang kesepian dalam kebosanan hari-hari yang rutin.
Juga tentang pertanyaan siapa jati diri Tuhan.

Liz adalah hampir 70% impianku sebagai wanita. Pergi ke Itali yang auranya dingin di mataku dan menikmati pergaulan.
Momen menikmati makanan sedap, sungguh di mataku terasa seperti pemandangan seni yang begitu menggiurkan.

Liz dengan pakaian dan anting-kalung turquoise-nya teramat sendu untukku. Di Italia ini, Liz -yang kurasa, aku juga, meski hanya dgn menontonnya- telah melepaskan kedukaan dan menguliti kenangan lama yang menyampahi hati. Inilah puncak kebahagiaan menjadi perempuan bebas. Tidak menjadi feminis, atau sibuk berdemokratis. Cukup hidup menjadi perempuan, dan bebas saja. *ah, thin pizza-nya begitu mesra di bibir.

Berpindah ke India, hatiku diterpa badai. Persis ketika konflik dengan suami. Runyam. Entah bagaimana menemukan ketenangan dari semua yang keliahatan berantakan di kota itu.

Liz, cantik dengan sari khas India. Mengingatkanku pada mimpi-mimpi menjahitku. Ingat proyek-proyek merealisasi konsep dalam kepala, hilang karena kehidupan.

Lalu seperti Liz, aku seharusnya memaafkan diriku sendiri. Memaafkan karena hal-hal bertajuk mimpi dan cita-cita yang tak terkejar karena aku mencintai Ganesha-ku. Kesayanganku, buah hatiku yang kurawat setiap hari. Harusnya aku merelakan saja diriku yang telah menjadi ibu dari seorang anak manis, hingga hari ini. Hatiku tiba-tiba retak, dan meneteskan embun air mata di sana.

Di scene India ini, aku menemukan beberapa sign Tuhan tentang kehidupanku sendiri.
Liz mempertemukan mata kami dengan patung dewa Ganesha. Nama yang sama dengan nama yang kuberikan pada anakku, Ganeshauman. Berbadan manusia, berkepala gajah. Tentu bukan kami ingin dia berfisik begitu. Tapi karena Ganesha adalah Penghilang Rintangan. Begitulah kami ingin filosofinya berlaku dalam hidup.

(Dan hingga scene ini tayang, Ganesha-ku yang berusia 3 tahun itu tetap membuka mata dan turut menonton film midnite ini. Ia bersorak ketika namanya disebutkan di film itu. Membuat kami girang tapi sibuk mengucapkan "sstt" padanya).

Kemudian, ketika seorang teman Liz bernama Tulsi menikah, Liz memberikan GURUGITA-nya agar Tulsi berbahagia dalam pernikahannya kelak.

Sepenangkapanku, Gurugita adalah semacam doa dalam meditasi, harapan yang terlintas ketika pikiran kosong, dan Tuhan masuk ke dalamnya. Tapi yang lebih istimewa untukku, GURUGITA adalah gabungan nama suamiku dan aku. Dia, GURUMILANG dan aku, GITA. Hebat! Kami benar-benar jodoh dalam film ini! :)

Selanjutnya film berjalan, aku tersenyum terus sambil menggenggam tangan suamiku, dengan bekas hangat kecupnya di keningku.

Tibalah Liz di Bali. Tempat yang tahun depan menjadi tujuan piknikku dan suami serta Ganesha.
Membuatku melihat hijau alam, bunga-bunga manis, daun kering, dan sentuhan Tuhan di hatiku. Aku seperti disentil, ditegur kalau manusia sepertiku ini harusnya menyayangi ibu bumi. Karena di sana ada Tuhan. Dan telah lama aku terlupa. Lebih sibuk menghabiskan isi alam jagad raya ini. Maka ketika suami menawarkan ke Bali untuk sebulan, akupun mengamini.

Tapi aku beda dengan Liz yang mengonsep dirinya sebagai Sang Penyeberang. Aku tak begitu. Dan mengapa sepertinya Liz mudah sekali berpindah ranjang dengan beragam laki-laki berbeda, meski di ujung cerita ia tak punya hati? Aku tak begitu.

In the end, aku merindukan yang Liz punya dimanapun ia berada. Seorang sahabat yg mengerti saja tanpa banyak bicara.
Meski aku bukan world traveller , atau belum. Tapi aku mencintai perjalanan Eat-Pray-Love-ku dengan nama baru GURUGITA dan GANESHA. Dan cinta itu akan selalu membawaku berpulang kepadaNya. Apapun agamamu, Ia di hatimu.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Send me your words