Senin, 03 Oktober 2011

Pengakuan Cinta Sawitri (tulisanku dimuat di Majalah Chic, edisi 10-III)

PENGAKUAN CINTA SAWITRI


Oleh: Gita Ayu Pratiwi



“Mengapa sekarang kamu selalu bersedih? Mengapa hanya kemuraman yang kudapati bila menatap wajahmu? Mengapa keriangan yang dulu membuatku jatuh cinta padamu, sirna? Adakah engkau tak bahagia hidup bersamaku?”


Lamunan Sawitri sekejap buyar karena pertanyaan-pertanyaan itu menderanya. Matanya beralih pada sumber suara. Lelaki itu, suaminya. Orang yang dipilihnya menikahinya setengah tahun silam. Ia menjadi merasa bersalah. Antara tidak ingin melukai hati lembut lelaki itu dan juga tidak tahan hidup dalam kebohongan semacam ini. Alur kehidupan ini begitu menyiksa, bahkan teramat menyiksa batinnya.


“Nggak. Aku nggak pa-pa. Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau, asal kamu senang,” jawab Witri. Tersenyum, meski ada rasa kesal menyala di dadanya.


“Aku nggak bisa pergi kalo kamunya sedih begitu. Ada apa? Bilang aku!” Gaza, suaminya berkata.


Tapi tetap saja, semuram apapun air wajah Witri, suaminya tetap pergi. Tinggal Witri sendiri di rumah. Di kamar tempat mereka berdua memadu kasih hingga kini ada janin berusia 5 bulan dalam kandungannya.



* * *



Mengapa hanya aku yang bersedih sementara Mas Gaza bisa bersenang-senang di luar sana? Mengapa hanya aku yang bermuram durja sementara Mas Gaza bisa tertawa-tawa dengan kawan-kawannya di luar sana? Mengapa hanya aku yang sendiri bersantai di rumah tak bekerja sementara Mas Gaza, setiap malam dan pagi sibuk bekerja di luar? Ia berangkat malam dan pulang pagi, lalu tidur, kemudian membuka mata untuk merasa hidup di rumah, kemudian meniduriku.


Di waktu-waktu tertentu, ia akan pergi bersama teman-temannya ke luar kota untuk berburu kaset, cd, dan plat-plat antik. Kadang juga ia harus menghadiri kumpul-kumpul sesama kolektor. Mas Gaza selalu berjanji akan cepat pulang, perginya selalu dikatakannya, tak lebih dari 2 hari. Dan memang benar, laki-laki gagah yang lebih tua darinya 5 tahun itu, selalu menepati janjinya. Suaminya juga tak pernah merasa tertarik dengan perempuan lain.


“Kalau aku jauh darimu, hatiku selalu berpulang padamu. Kau tak ada di sampingku, dan dengan begitu aku punya tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan dan cinta yang hanya kau berikan untukku,” begitu katanya pada Witri suatu hari.


Berarti bukan Mas Gaza yang salah atas semua kemuraman ini. Berarti aku sendiri, pikirnya. Lalu Witri meniti, apa gerangan yang membuat semua menjadi kelabu. Kemudian luka itu menganga, luka itu bercerita kembali. Perih.


Mas Gaza adalah laki-laki yang Witri kenal setelah ia putus dengan Asaka, atau tepatnya berpisah terpaksa. Mama tidak setuju kalau Witri terus melanjutkan hubungan dengan Asaka. Mama tidak main-main waktu itu, apalagi Mama sangat yakin kanker yang tengah menggerogoti tubuhnya akan segera menjadi pengantar matinya.


Hanya karena Asaka cacat dan tak sempurna seperti manusia kebanyakan, Mama menolak. Waktu itu Witri frustasi. Ia dan Asaka seakan tak mampu saling berpisah, tapi juga Witri sangat sadar Mamalah yang memberinya kehidupan hingga Witri bisa merasakan pahit getir cinta dan hidup ini. Karena tak ingin menyakiti perempuan paruh baya yang dicintainya itu, Witri berpisah dengan Asaka. Tapi rasa sayang antara mereka tak pernah mati. Pertemuan masih tetap ada, pegang tangan masih juga. Apalagi cium-cium dan peluk-peluk. Mereka seakan tak bisa saling jauh. Asaka mengerti benar bagaimana Witri sangat dekat dengan ibunya, maka Asaka mengalah, beginilah caranya mencintai Witri. Mereka saling berjanji akan menyimpan cinta sejati mereka, bahkan hingga hidup kedua kelak.


Kemudian datanglah Gaza. Sempurna secara fisik, tutur kata, cara bersikap dan sifat, serta mapan secara finansial demi masa depan. Ketika Witri kenalkan dengan Mama, Mama langsung jatuh cinta. Mama serta-merta memberi nilai 9,9 pada Gaza. Cerita berlanjut, Gaza meminta persetujuan pada Mama untuk menikahi Witri. Gayungpun bersambut, Mama merestui.


Mulailah Witri kebat-kebit. Hatinya masih terpaut pada Asaka, namun entah dimana lelaki itu berada kini. Lama juga mereka tak sua selama Gaza mengisi hari-hari Witri. Gaza teramat menyayangi Witri, hingga tak mampu melewatkan sedetik saja waktu tanpa Witri di sisinya. Apalagi, Mama Witri sangat setuju Gaza selalu ada untuk menjaga putri semata wayangnya.


“Segeralah kalian menikah. Akhir bulan inipun tak mengapa. Mama akan sangat senang sekali,” pinta Mama suatu waktu. Dan yang lebih menyakitkan, Gaza setuju dan mulai menyiapkan semua. Witri bingung, sekaligus tertawa, dan juga berduka, namun terharu. Tidak ada yang pernah sebegitunya pada Witri, apalagi karena mengharap cinta darinya. Asaka saja tak punya keberanian untuk menikahinya. Lalu Witri jadi tersanjung karena keistimewaan yang Gaza berikan hanya pada Witri.


Sayangnya, rasa rindu dan cinta Witri masih milik Asaka. Meski hari-hari Witri habis bersama Gaza, hanya Asaka yang terbingkai indah di hatinya. Setiap malam Witri menangis karena rindu pada Asaka. Rindu pada waktu-waktu yang dulu ia lewati bersama Asaka. Hari-hari indah dan seakan mereka merasa begitu kuat untuk melawan Tuhan. `


Witri ingin kembali ke masa yang sudah lewat. Witri ingin kembali bersama Asaka. Witri tidak bisa mencintai Gaza, ia juga tidak bisa tidak mencintai Asaka. Air mata ini adalah karena cintanya pada Asaka. Untuknya Asaka adalah segala, Asaka adalah malaikatnya, Asaka adalah bintang kehidupan, dan tak seorangpun dapat mengganti Asaka. Witripun mengepak pakaian, dan menyiapkan bekal berjuta harapan Asaka masih merasakan hal yang sama. Witri rela meninggalkan Mama, Gaza, dan gaun pengantin yang menggantung untuk dipakai 3 minggu ke depan. Bila ini adalah akhirnya, maka berakhirlah dengan bahagia, hatinya berbulat kata.


Siang itu, Witri pergi. Menuju kota dimana Asaka tinggal. Jika ini memang pilihan terakhirnya, maka biarkan Witri memilih ini demi kebahagiaan seumur hidupnya. Tanpa pamit pada Mama, Witri bertekad pergi jauh bersama Asaka. Ini hidup Witri dan Mama sama sekali tidak berhak atasnya. Witri ingin hidup bahagia, di hidup yang cuma sekali ini, bersama Asaka. Ia merasa kuat sekali. Ia merasa sudah besar di usianya yang masih sangat muda saat ini. Mungkin cinta ini, sedemikian kekalnya hingga ia yakin Asaka akan membahagiakannya. Biarlah Mama bahagia dengan hidupnya sendiri. Biarlah Gaza terluka sebentar karena ulahnya, tapi pasti nanti Gaza akan menemukan perempuan lain yang jauh lebih baik daripadanya.


Namun apa dikata. Asaka sibuk, sangat-sangat-sangat sibuk. Mata Witri yang mengatakan itu pada otaknya ketika melihat Asaka menunggu seseorang di stasiun. Witri ingin menyapa Asaka dan mengekalkan cintanya saat itu, tapi langkahnya terhenti ketika seorang perempuan menghampiri Asaka. Perempuan yang pernah Asaka kenalkan pada Witri. Tapi dulu, Asaka mengenalkannya sebagai adik angkatnya. Witri kecewa. Terluka. Merasa ingin bunuh diri saja.


Sakit itu membawa Witri sedemikian mabuknya. Ia menyakiti diri, tak sadar dan tak kendali lagi. Witri mengaduh sambil terus menenggak racun ke dalam tubuhnya. Tak pernah ia berbuat sebodoh ini, menggelembungkan lambungnya hingga ia muntah. Muntah. Muntah. Dan akhirnya pulang dijemput Gaza. Laki-laki itu menjelma menjadi pahlawan, mengganti Asaka.


Jika hidup ini memang hanya sekali, maka di kesempatan inilah, aku harus membahagiakan Mama yang telah memberi kehidupan padaku, keyakinan inilah yang mendorongnya kembali dan menyerahkan nasibnya pada roda kehidupan. Dalam kepulangannya itu, Witri memang kalah sudah. Ia tak lagi percaya pada kekuatan cinta. Sesungguhnya hidupnya telah berakhir hari itu. Hari dimana diperlihatkan cintanya pada Asaka menjadi cinta abadi yang tak pernah terbalas. Ia kembali ke tanah, berkeluarga, dan mengikat janji untuk mencinta Gaza hingga habis usia.



* * *



Kembali dalam titian masa lalu, Witri akhirnya tersadar ada lubang luka yang sangat besar di hidupnya. Asakalah yang merenggut semua keriangan itu. Asakalah yang membawa pergi semua keceriaan dalam hidup Witri. Asaka juga yang menghancurkan semua harapan Witri, dan Witri harus rela menjalani ini semua. Inilah pilihan akhir Witri saat pilihan-pilihan itu tak dapat dipilihnya.


Tapi apa lagi? Sepertinya ada yang lebih menyakiti Witri daripada kepergian Asaka. Witri masih terus mencari. Sepertinya dulu saat ia bersama Asaka, ia tidak pernah sesakit ini. Lalu mengapa kini, setelah dicinta Gaza, sakitnya tak tertahankan. Apakah Witri hanya berprasangka, atau ini memang benar-benar terjadi padanya.


Asaka tak pernah meninggalkanku sendiri dulu. Asaka juga selalu kubiarkan pergi dulu. Maka mengapa sekarang aku seperti kebakaran jenggot kalau Mas Gaza pergi tanpa mengajakku? Apa aku tak ingin kehilangan? Ataukah aku mulai mencintai Mas Gaza? Ah, tidak! Aku tak percaya aku jatuh cinta padanya! Hanya Asaka yang pernah membuatku mabuk!


Pagi itu seperti biasa, Gaza pulang kerja. Witri membukakan pintu dengan malas. Masih mengantuk, merasa lelah dengan rutinitas ini dan kembali tidur. Lalu Gaza memeluk Witri di ranjang. Menciumnya, membelai bayi mereka yang tentram di dalam perut Witri. Kemudian Gaza mulai bercerita dan berkata-kata bagaimana ia mendidik putra mereka kelak. Witri juga sempat dengar Gaza ingin menjadikan anak itu sahabatnya. Anak itu akan menjadi manusia yang akan mereka sayangi berdua.


Witri tertegun. Tidak pernah ada yang sebegitunya padanya. Tidak ada yang merangkai cita-cita dan harapan masa depan bersamanya. Bahkan Asaka saja meninggalkannya sementara mereka masih saling mencinta. Witri juga ingat benar, masa itu Asaka masih menjanjikan bahagia cinta mereka bila menyatu.


Kemudian Gaza membisiki Witri, kemudian lagi mereka bercinta. Gaza memperlakukannya dengan sangat lembut. Dan tak henti-henti, cita-cita itu diucapkannya, “Kalau nanti…,” dan kalau-kalau selanjutnya. Tak lupa Gaza juga berkata bahwa dirinya dan bayi yang dikandungnya kini adalah permata berharga dalam hidup Gaza.


Witri tersenyum. Keriangan itu tiba-tiba ada lagi. Akhirnya, ia sampai pada titik kelelahan yang teramat. Kini, ia menyerah pada rasa itu. Rasa aneh yang tertanam perlahan di hatinya. Entah rasa itu bernama apa, tapi Witri merasa tenang bila Gaza di sampingnya. Sekaligus juga ia akan marah-marah dan gusar tak karuan bila Gaza bepergian dan jauh darinya. Witri enggan menerjemahkan semua. Mungkin cemburu, mungkin rindu, mungkin juga suka, atau sayang dan cinta.


Witri membiarkan Gaza terus berbicara dan mencurahkan semua. Pelan-pelan rasa sejuk mengaliri hatinya. Ia ingin bilang cinta pada Gaza, tapi semua tercekat tak bernada. Hatinya bernyanyi, suara-suara merdu di sana. Ini adalah pagi yang paling hangat dan romantis bagi Witri.


Akhirnya titian Witri berhenti pada sebuah titik kelelahan yang teramat sangat. Ia melepas semua. Pada Gaza, Witri menjatuhkan dirinya. Bahkan Witri bertekad bulat melupakan Asaka. Ia ingin seutuhnya untuk Gaza. Ia kini mengerti bagaimana Gaza sangat ingin dicintainya. Ia kini sadari betapa sakitnya disia-sia, seperti waktu itu Gaza disia-sia olehnya. Dan kini, Witri hanya ingin menggenggam tangan suaminya, tersenyum tenang dan terlelap. (*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Send me your words