Selasa, 07 Februari 2012

Antara mimpi dan dejavu. Imaji atau memori?

Kubuka lagi dua belah mataku entah untuk yang keberapa kali. Kutarik nafas panjang dan membuangnya ke segara kebisuan ruangku. Waktu telah berjalan hingga pukul lima pagi ini. Aku tetap gagal mencoba pulas tertidur. Buku di tanganku telah habis kulalap, buku bertitel “Penafsir Kepedihan” milik Jhumpa Lahiri itupun terkulai menutup di balik selimutku.

Tadinya aku berharap bisa merasakan nikmatnya tidak menyadari bahwa pada suatu ketika aku sudah lelap bermimpi. Tapi, apa yang kurasa saat ini malah menyiksa seluruhku. Berdoapun sudah tiada berarti lagi!

Aku bangkit, mengelinting “kotoran” dalam balutan sutera putih, yang di ujungnya runcing untukku bakar. Satu tanganku yang lain menekan tombol pencipta irama, dan mengalirlah musik usungan band cadas legendaris dari Bandung, Puppen di seluruh jagat raya. Khalayak ramai ber-pogo ria di dalam telingaku. Tapi mata, kepala, dan otakku tetap diam. Tak bergerak, dan tetap kosong.

Dua linting “pocongan” kecil habis dan menyisakan kelabu di awang-awang, kadang aku malu mengakui kalau aku sesak menghisapnya. Sesaat kemudian pita hitam Puppen pun telah habis terputar.

Di depanku ada wajah seseorang. Ooh… itu wajahku rupanya! Aku tengah bercermin detik ini. Mataku menatap langsung pada rongga matanya. Merah! Mabuk! Tapi tetap sadar! Kubuka lebar mulutku, menanyakan siapa dia, tapi tidak ada jawaban.

Dan lebih bodohnya, wajah di cermin itu malah mengikuti tiap gerakan mulutku, tiap kedipan mataku, mengikuti perputaran bola mataku. Akhirnya aku mengalah, tepatnya hatiku yang mengalah. Hatikulah yang menanyakan identitas itu kepada ruhku, dan pelan-pelan aku mulai meraba jawabannya…

“Aku adalah orang yang kuat, aku berdiri di atas bayang-bayangku sendiri, dengan tulang-tulang dan daging yang saling berpelukan dalam satu tubuh. Dengan otak dan pikiran yang melahirkan prinsip-prinsip kuat sepanjang hidupku. Jiwa dan hatiku mengatur hidup dan menguatkan kakiku ‘tuk melangkahinya.

Di daun telingaku, bergelayutlah empat logam besi menjepit, dan di dalam rumah siputku bergumullah musik-musik tidak lembut yang selalu setia mewakilkan keakuanku. Serta, di punggung kiriku terlukis dengan indah tribal hitam-merah yang bercinta di pori-pori kulitku. Setidaknya aku berkuasa atas raga srikandiku ini.”

“Aku adalah manusia yang punya harga diri, walau kadang aku menemukannya berada di bawah. Tapi aku tetap punya harga diri yang sangat bernilai artinya. Angkasapun tak ‘kan mungkin menang dariku.”

Sejenak aku merapat pada cermin dihadapanku. Mataku memicing. Mendapati sesuatu, entah apa itu. Kalbuku membisiki, ach..air…APA?! Ada dua titik air di ujung mataku. Rasanya hangat, tenang. Lalu tumpah mengalir ke bibirku, aku sempat menelannya hingga kuputuskan untuk menghapusnya dengan telunjukku.

Aku tidak berniat mengamatinya, hanya saja aku secara sadar atau tidak, meletakkan butirannya di dadaku, tepat di permukaan kulit pembatas dinding jantungku. Berdenyut sebentar untuk kemudian hilang bergetar. Lalu memoriku menganga. Tiba-tiba saja kunjunganku ke sebuah gig beberapa bulan lalu terputar kembali. Layaknya episode kisah sinetron, semua tampil di pentas ingatanku…

Aku tenang hari itu, semua biasa saja, sampai sebuah kharisma mengitari nafasku, saat itulah aku percaya dia sangat istimewa. Dia berdiri sendiri, menatap langkah kakinya di depan, mulutnya terkunci tanpa tersenyum, hidungnya menjulang di sisi pembaringan Tuhan, dan rambutnya ikal diikat, sisanya keriting menjuntai tak beraturan.

Emas.. diseluruh tubuhnya berpendar. Setiap yang melukisnya akan berharap memeluk. Tapi dia tidak ingin. Dia tetap mempertahankan ketidakmampuannya sendiri. Dia tidak memperjuangkan sesuatu untuk memenangkan indahnya gejolak. Dan tanpa dia ketahui, dia juga telah membiusku perlahan.

Aku memang tidak pernah kontak langsung dengan matanya, aku juga tidak pernah menyalami tangannya, tapi aku tahu pasti…dia begitu hangat seperti sinar mentari di pagi hari, sekaligus dia dingin sedingin gunung es yang mengeksekusi Titanic sekalipun.

Aku mendambanya, aku berangan dia menerima sesuatu, atau paling tidak dia rela menitipkan untuk sekejap saja menoleh dan mengabadikan senyumnya padaku. Tapi, tidak ada! Jangankan berlutut di air mukaku, menyadari kehadirankupun, omong kosong! Percayalah... dia tetap sehangat mentari pagi, dan dia tetap sedingin gunung es.

Aku merasa bagai jarum penunjuk detik di antara bilangan-bilangan waktu. Aku tipis, aku ada, tapi tidak berpelangi di sayapnya. Aku berusaha menguatkan jiwaku. Meski terguncang hebat, aku mendarat kembali di kehidupanku. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga terhenti pada suatu senja….

Matahari meredupkan sinarnya, berpamitan pada anai-anai berukiran rapuh. Aku mereguk hangatnya sebelum dia benar-benar pulang. Lalu, berganti kehadiran bulan dan bintang-bintang di syahdunya malam hari. Bulan yang buta, layaknya keteduhan tatapan yang tak menangkap sosokku, dan gemintang yang bisu, layaknya ketidakpedulian kata-kata yang tak diperdengarkan padaku.

Aku mengingatnya. Terlebih lagi, aku merasa kesakitan karena aku memuja dan mengaguminya. Ternyata pesonanya menyeruak keluar, memberontak dari kotak hitam kecil di sudut hatiku. Jelas sudah, selama ini dia tetap berkobar di hatiku. Dia tetap menyelimuti nafasku, “aku jatuh cinta!!” Ya, aku jatuh cinta, Jaa..tuuh…cin..taa.. Jaaaa…tuuuuh…ciiiiiiinn..ttaaa….

Sayangnya, hingga aku lelah bercerminpun, aku tidak memilikinya. Aku tidak menggenggam wujudnya. Aku pernah menceritakan hasratku lewat embun pagi kemilau yang menyegarkan, bahwa aku sangat mengaguminya.

Tapi, embun pagi menguap habis bersama demam di seluruh penjuru dunia. Aku sangat menyesal telah mengobrak-abrik tatanan hatinya, tapi kemudian aku merasa ragu berkepanjangan. Karena dia tidak bergeming tanpa pernah menyakitiku, menyalahkanku karena menodai kesucian asa.

Aku tetap seperti ini. Aku tetap tersiksa tak berusaha menggapainya. Aku sekarat tanpa pernah mengecupnya. Tiada daya, tiada upaya. Aku mencintainya seperti ini. Dengan tanpa merusak dirinya, tidak bersatu dalam hidupnya. Kecintaan ini tetap maya, tetap kekal, bagai kematian yang sejati.

Berharap tidak terbakar di sinar matanya, karena aku mencintainya dengan bebas, ringan, tidak luka, tidak berdarah. Entah dimana kisah ini akan habis. Hanya biarkan saja aku nikmati nyeri ini. Dalam! Tinggi! Membumbung ke nirwana dewa. Hingga saat ini, gig yang ke-sembilan puluh dua kali kuhadiri…. Dan cinta itu tetap terbang mengitari langkah bekunya, tanpa aku pernah tersenyum padanya.
…….

P.A.T.A.H


HOW DOES IT FEEL TO BE ALL BY YOURSELF?

Saya sedang patah hati. Perasaan saya sedang berantakan. Kacau! Pikiran saya mumet, ‘njlimet. Tidak bisa tidur, padahal saya harus bangun pagi-pagi untuk beraktifitas esok hari.

Tiap kali “kosong,” sosoknya selalu datang. Bayangannya mendekap memori saya erat hingga sayapun selalu gagal mencoba melupakannya. Terlebih lagi, “Heaven” baru saja dilantunkan Bryan Adams, dan kemudian dilantunkan ulang versi DJ Sammy, kenangan sayapun kembali pada detik-detik lagu itu kami lantunkan berdua. Dia dengan petikan gitarnya dan saya dengan nyanyian yang kini menyayat hati.

Sebegitu kuat saya melawan, sebegitu dalam saya makin terluka. Saya sangat ingin melupakannya! Benar-benar sangat! Saya ingin hentikan derai air mata ini! Saya ingin tersenyum lagi setelah tangisan panjang yang pilu ini! Saya ingin berlari lagi setelah seretan langkah saya kian tersuruk-suruk kini!

Ini adalah yang pertama. Ya, ini kali pertama saya putus cinta. Putus cinta dalam arti kata sebenarnya. Karena putus cinta yang kemarin-kemarin itu hanyalah butiran-butiran pasir di laut. Tiada artinya. Tidak sedalam yang ini. Mungkin karena usia percintaan ini sudah kedalon, tiga tahun bercinta membuat kami saling mengenal, mencinta dan menyayang luar dalam. Itulah sebabnya saya tulis ini dalam insomnia saya yang melelahkan.

Saya mencoba mencari tempat lain, titik lain, setidaknya sebagai sandaran agar saya bisa bangkit dari kerapuhan saya. Mencari nama-nama yang dulu mencari saya untuk mencinta. Bolehlah saya disebut pelarian. Tapi untuk saya, ini adalah usaha untuk menguatkan kembali langkah kaki saya yang tersendat dan justru mundur.

Saya begitu mencintainya. Saya begitu memilikinya, tapi saya tidak ingin melanjutkan lagi kisah menyedihkan ini dengannya. Disana tidak ada lagi keindahan, hanya tersisa sedih yang tak habis-habis. Haruskah saya terus menerus bercinta dengan kedukaan? Tapi, berdosakah saya yang meninggalkannya sendiri dalam keterpurukan hidupnya?

Kadang saya merasa tidak ingin pergi darinya karena saya tidak bisa memaafkannya yang telah merenggut hidup saya. Sebuah nafas hidup saya yang seharusnya saya banggakan satu saat nanti. Kami memang bersalah, kamilah penghuni nerakaNya. Jadi, bagaimana? Haruskah saya berpisah dengan orang yang dengan bersamanya saya memanjati puncak dunia? Saya takut pada rasa penyesalan saya yang besar sekali. Saya takut pada ketakutan saya sendiri. Dan saya tidak tahu bagaimana caranya agar saya berani melepasnya.

Musik-musik sedih yang saya putar untuk mendukung suasana ini, membawa saya mengingat masa kecil saya. Masa muda, tidak kenal cinta. Tidak mencintainya. Hanya saya dan orang-orang baik yang memeluk saya saat saya perlu, tanpa syarat bercinta. Saya merindukan mereka.

Apakah mereka tahu saya butuh mereka? Apakah mereka masih pedulikan saya? Karena saya jauh mencintai mereka dan kenangan-kenangan manis itu daripada cinta saya. Kemana perginya mereka? Tak lagi kirimi saya kabar berita.

Tinggal nama orang itu. Orang itu lagi! Hanya orang itu. Walau dia sedang sakit hati, walau dia juga pergi, tidak lagi disini, saya ingin sekali berbicara dengannya. Berbicara saja, tidak usah ada juntrungannya. Cerita-cerita saja, jangan ada akhir dan titik habisnya.

Lalu tiba-tiba saya merasa salah besar! Dia juga sudah pergi. Entah ke langit lapis berapakah ia. Saya jadi sendiri. Benar-benar sendiri. Tinggal saya dan (masih) musik-musik sedih ini, Nazareth, “Love Hurts.” Uughh… sakit!

Kalau kamu baca semua ratap tangis saya ini, tolong jangan suruh saya kembali ke dunia ya! Saya tidak bisa lagi menjejak di bumi dan mengangkat kepala saya tinggi-tinggi untuk menundukkan matahari. Saya kehilangan pesona itu.

Tolong saya jangan diajak berkeliling dulu ya! Karena saya sedang sedih. Saya kehilangan dia. Saya tidak bisa membuang semua memori yang saya nikmati bersama dia, berdua. Tolong jangan paksa saya. Biar saja saya nikmati dulu musik-musik sedih ini, “Annie’s Song” dari Jhon Denverlah yang memuaskan kelukaan ini.

Saya sedang hampa, solois tanpa petikan gitar. Tidak, saya tidak ingin menyanyi dulu. Tidak ingin menangis lagi.

“Astaga… oh Tuhan! Saya sendiri. Benar-benar sendiri!”

Saya bersyukur, maka saya ada.

Seumur hidup saya, sepanjang 25 tahun menjalani, baru sekali ini saja saya merasakan benar-benar ikhlas. Sejak kecil dulu, karena semua mimpi dan keinginan sulit diwujudkan, saya terbiasa untuk hanya melupakan saja. Tanpa harus merasa ikhlas atau apa. Tapi saya biasa mendendam, dan mengancam hal itu akan saya wujudkan someday dengan cara benar atau tidak benar.

Menjadi tunggal, dan perempuan pula dalam keluarga, membuat saya tumbuh emosional. Keadaan keluarga yang tidak kondusif, orangtua yang tidak selalu selamanya damai, menjadikan saya adalah saksi bisu pertengkaran mereka. Dan tanpa disadari, menjadi korban KDRT mereka, membuat saya pelan-pelan membenci hidup saya sendiri. Malah terkadang membenci Tuhan.

Saat remaja, darah berontak itu demikian bergolak. Saya berani melawan orangtua. Saya berani menentang mereka yang tidak sependapat dengan saya. Saya berani keluar dari rumah dan sekaligus keluar dari kampus. Saya hidup sendiri. Benar-benar otonomi. Benar-benar merdeka dan tidak kenal keluarga lagi. Tidak kenal Tuhan, bahkan tidak kenal yang namanya ikhlas lagi. Saya sempat menyatakan diri sebagai atheis, dan menyangsikan nikmat Tuhan. Karena yang saya rasa saat itu, Dia tak ada dan Dia tak memperdulikan saya. Maka yang saya rasa, saya tak perlu menyerahkan hidup saya padaNya. Hidup saya seutuhnya milik saya, di tangan saya, tinggal mengikuti kemana langkah kaki mengarah.

Waktu berjalan. Masalah datang dan pergi. Air mata membasah dan tawa kadang mengalir. Wajah-wajah baru dan lama, mengunjungi dan menghilang. Demikian bergulir. Kisah cinta silih berganti. Hidup, naik dan turun. Dan hati, semakin lelah mencari. Lelah merasa duka, merasa luka, merasa hilang arah. Di kisah cinta yang terakhir, Tuhan menjadi pembeda. Tapi, dasar saya tak peduli tentang itu, benar-benar tak mendengar kalau Ibu tak setuju. Saya pergi untuk melangkah pergi dari Ibu dan Tuhan saya untuk selamanya, demi bisa bersama laki-laki yang saya cintai dan Tuhan lelaki saya itu. Demi, semua karena cinta buta.

Tapi, ketika saya menuju laki-laki pilihan saya, Tuhan menuliskan hal lain. Di tengah jalan, mata dan hati saya dibuka, bahwa dia, laki-laki yang saya sangat cinta semesta alam itu, tengah bercinta dengan wanita lain.
Saya marah, mabuk, menyakiti diri. Sempat terfikir untuk bunuh diri, tapi tak kunjung Tuhan beri kesempatan menemukan senjata untuk memutus nafas sendiri. Apakah karena Ia masih sayang saya? Mungkin.

Dan di tengah kepayang saya akan cinta busuk itu, di akhir mabuk dan usaha bunuh diri yang tak juga berhasil, seorang laki-laki datang dan menyeret saya kembali ke dalam kehidupan. Ia menghapus air mata saya dan memulangkan saya ke rumah ibu. Saya sudah tidak bernafsu lagi tentang hidup. Jadi ia tak begitu mempesona saya. Meski ibu memberi angka hampir sempurna pada fisik dan akhlaknya. Saya hampir juga membenci dia karena dia mengembalikan saya ke ibu, perempuan paruh baya yang juga saya benci saat itu.

Dunia runtuh sudah, untuk saya masa itu. Saya benci orangtua saya yang sedang berusaha rujuk kembali, saya dikhianati cinta yang tadinya saya percaya untuk selamanya. Saya kehilangan semua hal menyenangkan dan mimpi-mimpi indah saya. Selera saya akan kehidupan saya kini hancur hambar tanpa sisa. Saya hanya ingin mati. Namun, matipun tetap terasa dipersulit Tuhan.

Hingga puncaknya, laki-laki ini datang melamar saya suatu hari. Pahlawan kesiangan itu berani-beraninya meminta saya menjadi istrinya. Tapi saya sudah tak terlalu peduli, jadi saya ikuti saja rencana mereka; ibu dan Mas saya ini tentang pernikahan. Saya masih ngelangut, masih dibuat hancur oleh cinta saya sebelumnya. Hingga harinya tiba, saya dan Mas bersanding. Dan sejak itu, Mas merumahkan saya, hanya untuk dia, setiap saat. Tidak ada ikhlas di hati saya, tak pun ada bahagia yang sejati. Saya begitu palsu. Saya begitu kelu. Saya seperti tak bernyawa, meski jiwa raga saya telah dimilikinya.

Namun sudahkah ini selesai? Tidak. Masa terberat saya ternyata datang kemudian. Kondisi fisik menurun, saya dinyatakan hamil. Saya terkejut, seperti tak sanggup menerima kenyataan. Setiap malam saya mengingat cinta saya yang telah lalu, menyesali semua langkah yang kelewat jauh ini. Saya berkali menghubungi cinta saya yang lalu, tapi apalah daya, saya tak mungkin meminta cinta kembali. Saya tak mungkin pergi dari sini. Tiada ikhlas, tawa itu tetap saya gulirkan. Pura-pura bahagia agar semua senang. Pura-pura senang agar semua bahagia. Padahal saya mulai melawan, mulai sering bertengkar dengan dia. Dan saya tak peduli betapa ia sakit karena saya.

Momen melahirkan adalah awal momen masa gelap hidup saya. Saat semua ibu berbahagia karena punya anak, saya justru gigit jari. Memikirkan kebebasan yang saya tak akan punya lagi. Mengkhawatirkan, bagaimana cara saya bisa membesarkan anak ini sementara saya galau dan amat labil. Meski begitu, saya tetap pulang dan merawatnya di rmh. Lelah, sudah pasti. Stres, apalagi! Fase baby blues mendera saya sampai 2 tahun lamanya. Dan saya harus mengakui bahwa saya adalah ibu terburuk, sangat terburuk, di dunia.

Mengapakah? Karena di saat perempuan lain ada yang sedang menantikan kehamilan dan merindukan anugerah menjadi ibu, di sini saya justru menyiksa darah daging saya sendiri. Di usia 4 bulan, anak ini sudah saya bawa pergi, kabur dari rumah. Meninggalkan Mas. Dan akhirnya pisah ranjang. Selanjutnya kami tinggal di rmh ibu, sampai akhirnya dapat rujuk kembali. Tapi setelah itu, seiring pertumbuhan anak saya, Ganesha, dan rujuknya rumahtanggaku, mental dan kejiwaan saya makin parah terganggu.

Pekerjaan lapangan sebagai reporter dan hidup hura-hura-hore yang dulu, tak bisa saya nikmati lagi setelah Ganesha lahir. Yang ada saat ini hanya repotnya mengurus anak, membersihkan kotorannya, memandikan, menyusui, masak, dan selalu saja, pakaian lusuh yang terlihat. Betapa saya rindu masa lalu. Keindahan sebagai ibu tak terlihat di mata saya. Saya frustasi. Anak ini sering kali makin membuat depresi dengan sejuta tingkah nakalnya.

Beberapa kali, ketika Ganesha bertingkah nakal, saya justru membantingnya di tempat tidur. Tak jarang bocah mungil ini saya tendang. Tak terhitung berapa kali sudah, tamparan saya dia rasakan. Tapi tidak ada kasihan dalam mata saya ketika melihatnya meringis kesakitan sekaligus terkejut. Bahwa ibunya, berubah menjadi monster. Saya menebak dia tak punya sama sekali gambaran wanita kemayu dengan wajah bidadari yang penuh kasih sayang, dan disebut Bunda. Ibunya sangat tidak seperti itu.

Saya benci sekali menyadari fakta bahwa anak ini tak bisa mengerjakan apa-apa dan hanya tergantung pada saya untuk melakukan semua. Makan, mandi, pakai baju, poop, semua saya yang kerjakan. Terlebih lagi, suami, sibuk setengah mati dengan pekerjaannya sendiri. Berangkat subuh-pulang tahajud, mulai dari gelap sampai gelap lagi. Saya sendirian di dunia yang berantakan. Tak berteman, tak bercinta, tak bahagia. Hanya digelendoti anak manja ini. Anak yang mengikat kedua kaki dan tangan saya hingga saya mati berdiri.

Ibu macam apakah saya? Busuk! Puncaknya, ketika Ganesh sudah makin gemar bermain mengelilingi rumah tanpa peduli poopnya dia bawa kemana-mana. Saya marah besar! Saya hampir memaksanya memakan kotorannya sendiri. Saya hampir ambil pisau, untuknya dan untuk saya. Tapi gila! Saya tetap tidak sanggup. Apa mau Tuhan pada hidup saya ini? Ganesha menangis meminta maaf pada saya, di atas kotorannya sendiri. Saya menangis marah. Marah pada entah! Ya, saya memang gila! Memang ibu yang kurang ajar! Kualat!

Kepala saya mau pecah. Saya tak tahan lagi. Bila saya diam saja dan terus menjalani hari-hari seperti ini, saya akan beneran gila. Jangan-jangan, anak ini akan saya lumat mentah-mentah. Maka, ketika ada peluang keluar rumah untuk bekerja, saya langsung ambil. Ganesha, saya titip di rumah ibu. Meskipun ada sisi ruang hati saya yang tak rela berpisah dengan Ganesha, lebih karena perasaan bersalah saya karena selalu menyiksanya, saya memaksa tetap harus pergi. Semata karena saya tak ingin menyakitinya lagi.

Bekerja di perusahaan yang jam kerjanya gila-gilaan juga, membuat saya dan keluarga tak terlalu akrab. Tekanan di kantor lebih menyakitkan. Saya sempat berfikir ini karma. Ternyata diomeli dan diperintahkan orang ini-itu sangat tidak menyenangkan. Terkadang saya memikirkan Ganesha di sela-sela kerja keras saya, tapi ego saya mengalahkan segalanya. Saya tidak menjalankan peran saya lagi sebagai ibu. Ganesha makin kurus bila dipandang, makin kurang ajar karena terbiasa dimanja Yang-Utinya. Dan saya semakin tak sayang.

Hingga suatu hari, asma yang saya idap sejak SMA, tiba-tiba menjerat saluran nafas. Saya sedang kerja kala itu. Tiba-tiba berderai air mata, karena saya merasakan sakit yang amat sangat. Hampir pingsan, tapi saya dibuat sadar terus oleh Tuhan, mungkin agar saya tetap merasakan sakitnya detik per detik. Saya mencoba bertahan, meski nafas seakan sangat menusuk tajam. Berhari-hari, dan saya drop suatu ketika. Pada suatu tali Tuhan, yang dililitkan di leher saya hingga nafas tercekik, darah sudah seperti tak mengalir. Pipis dan poop keluar begitu saja tanpa kendali. Saya dilarikan ke RS dekat rumah. Muntah berkali-kali, selang oksigen mengisi hidung. Sempat tak sadar, tapi kemudian saya dibangunkan Tuhan dengan batuk yang amat perih, menyakitkan seluruh indera. Saya dipulangkan tanpa kesembuhan total. Nafas tetap pendek, darah tak terpompa-pompa naik ke otak, sekujur dingin beku. Tapi mereka hanya mengatakan saya asma, kemudian saya dipulangkan dengan nafas yang kadang masih terengah-engah.

Ini adalah hari pertama saya bisa mengucap terima kasih pada orang-orang. Seluruh sepuh keluarga datang, ritual-ritual berdoa bersama pun diadakan. Namun nafas ini masih saja menjadi cobaan. Saya memang tak masuk kerja karena kondisi badan belum pulih. Rasanya lelah sekali, gagal memompa darah sendiri karena tak ada asupan oksigen yang kuat untuk menyebar oksigen ke segala penjuru tubuh. Malamnya, Tuhan datang lagi! Dalam sesak. Begadang yang kemarin belum terbayar, bertumpuk dengan sakaratul malam ini. Saya duduk tersengal. Mata memejam, menahan perih di tenggorokan. Kaki dingin, paha dan lutut dingin. Perut tak terasa, apakah masih ada di sana atau tidak. Dada saya tak boleh salah posisi. Salah sedikit saja, saluran nafas sepanjang hidung, kerongkongan, sampai ke paru-paru, tak bisa lancar mengalir. Akibatnya, mata saya akan mendelik-mendelik, dan mulut gelagapan, seperti ikan mencari udara ketika tiada air.

Proses ini berlangsung lama. Meski minum obat, tidak ada pengaruh sama sekali. Saya fikir dan orang-orang di sekitar saya fikir, umur saya tak akan panjang lagi, karena nafas sudah sekelingking. Ibarat senar gitar, nafas saya yang dipetikkan tangan Tuhan, tinggal ditarik saja dengan kasar, maka putuslah, hilanglah umur saya saat itu, jika Tuhan berkehendak. Saya tidak bisa mengucap. Hanya bahasa tangan yang menjadi isyarat dari saya ke orang-orang sekitar.

Badan saya kaku, karena tidak ada energi. Dan bila saya bergerak, hanya akan mengakibatkan dada juga bergerak, maka saya akan batuk sampai sakit dan mendelik dan tersengal, dan sakaratul! Malam itu, Mas Suami mengabarkan ke semua orang yang kenal saya di luar sana. Isi kabarnya, saya sedang di ujung maut, dan segala kerendahan hati saya meminta dimaafkan dan diikhlaskan atas semua di masa lalu. Termasuk pada cinta-cinta saya di masa lalu. Paling tidak, bila saya benar-benar mati, saya sempat meminta maaf. Meski surga amat jauh dari jangkauan.

Yang paling saya sedihkan, Ganesha, buah hati saya, yang di hari-hari lampau saya siksa lahir bathin, dengan setianya berada di samping saya. Bocah laki-laki usia 3 tahun ini memang tidak menangis, tapi dalam genggaman jari-jemarinya yang mungil, ia seperti tak ingin saya pergi. Dan sebisik kalimat saya dengar dari bibirnya...

"Bunda, Ganesh ngga mau Bunda meninggal.."

Dalam sakaratul saya, hati saya menangis. Dan baru sekali itu, saya merasa amat menyayangi Ganesha, anak saya. Baru sekali itu saya merasa bersalah padanya. Dan baru sekali itu, saya merasa ikhlas atas semua yang Tuhan gariskan untuk hidup saya.
Ganesha dituntun ibu saya, mengangkat tangan dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa bahwa mereka sayang saya dan berharap saya sembuh dan tidak pergi secepat ini. Saya tiada daya. Saya hancur melebur. Saya tak punya asa lagi. Hanya nafas ini yang saya harapkan agak meregang. Entah meregang bangun atau meregang nyawa. Saya melihat ikhlas yang sangat tulus dari Ganesha. Saya terharu, tapi sungguh, saya tidak menemukan cara untuk menebus cinta ikhlas anak saya ini.

Pelan-pelan, badan saya diangkat Mas Suami. Ia melarikan saya ke RS, lagi. Kali ini memang sudah tidak bisa ditahan lagi karena tiap kali batuk, darah mulai keluar dari mulut saya. Sampai di RS, semua orang sibuk memasang ini-itu ke badan saya. Saya memejamkan mata, merasa kacau, seperti berjudi dengan Tuhan. Marah, pasrah, gelisah, campur saja. Tapi kalimat istighfar terus ditasbihkan suami di telinga saya. Saya genggam tangannya lemah. Saya amat jatuh cinta padanya saat itu.

Masa kritis lewat. Air mata mengalir, masih dalam kondisi labil. Tiba-tiba, seorang pasien dipindah ke ranjang sebelah. Seorang ibu, pasien jantung. Nafasnya 11-12 dengan saya. Kami berdua sama-sama sudah tidak bisa rebah, tidak bisa saling bicara, tidak bisa berbahasa. Kondisinya lebih memprihatinkan daripada saya. Saya merasa iba sampai rasanya hati amat terluka melihatnya. Saya masih beruntung masih bisa tersenyum pada Mas Suami. Ibu ini tidak. Dia dengan bahasa isyaratnya dan suara dengusan nafasnya, menggambarkan ia marah. Seperti saya, marah pada entah. Berkali-kali kami beradu pandang. Saya di dalam hati, mendoakannya agar segera tenang dalam nafasnya. Sebenarnya hati saya seperti telah merasa dia akan segera dijemputNya. Saya bisa merasakan sengalan nafasnya begitu berbeda. Ia melihat saya lagi, ditatapnya saya yang berlinang air mata. Dan di detik terakhir, ia dengan isyaratnya meminta suaminya pergi mengambil air di luar kamar. Saya, satu-satunya saksi di kamar itu, dengan mata terpejam karena takut menatap kuasa Tuhan akan hidup dan mati, dengan telinga yang masih terpasang nyalang, melepas si ibu pergi kembali kepadaNya. Maka ketika sang suami kembali, ia menemui istrinya dalam kondisi tak bernyawa lagi. Istrinya pergi, karena sakit yang mirip saya. Sang suami meratap, berteriak, menangis, dan kata-katanya dipenuhi permintaan agar istrinya tak mati. Saya hancur, saya hancur terkubur.

Merasa kaget dan juga trauma, Mas Suami segera membawa saya pulang esok harinya. Saya masih bisu. Masih saja nanar mengingat bagaimana lemahnya manusia di mata Tuhan. Betapa tak ada apa-apanya manusia di tanganNya. Apakah guna sombong akan harta benda, paras, dan tahta, bila nyawa itu hanya milikNya. Bagaimana ajaibnya, nyawa itu dialirkan Tuhan di dalam tubuh manusia, dan diambilnya kembali seketika. Ngeri.

Dokter medis bilang saya mengidap bronchitis, akut tapi tak perlu takut. Karena sakit saya juga tak butuh obat yang serius. Tapi bagaimana mungkin, saya bisa tenang-tenang saja dan percaya kata-kata mereka? Bila setiap pagi dan malam, sakaratul ini juga tak habis-habis. Bayangan kematian mengitari, kapan saja saya bisa mati. Dan mereka cuma bilang, ini sakit batuk?!

Sampai akhirnya, sakit ini membawa saya ke klinik pengobatan alternatif di daerah Cinere. Ibu ini, bernama Nyai Uban, sangat terkenal di kalangan pengobatan alternatif. Dengan logat khas betawinya, dia mendiagnosa sakit saya. Dan hasil diagnosanya, benar-benar membuat saya terkejut. Kalau dokter bilang, saya bronchitis, Nyai Uban bilang katup jantung saya bocor karena terendam flek yang membanjiri paru-paru. Saya disarankan untuk melakukan operasi penggantian katup jantung dan menguras flek di paru-paru. Saya terpukul. Mas Suami lebih lemas dari pada saya. Saya merasa bersalah padanya.

Esoknya kami kembali lagi ke Nyai Uban, untuk menjalani operasi. Semua keluarga yang mengantar saya, berkomat-kamit mengucap doa. Saya dibaringkan di ranjang kayu di sebuah kamar yang hanya ada Nyai Uban dan saya di sana. Mata saya ditutup agar saya tak ngeri sendiri, tapi saya dibiarkan sadar. Nyai Uban menyiapkan es batu dalam plastik ukuran besar, kira-kira setengah kilo, 2 buah. Diletakkannya es itu di dada saya, di pelapis kulit tempat jantung dan paru-paru saya berada. Maksudnya agar ba'al atau kebal, jadi saya seakan dibius lokal, hanya daerah itu saja. Saya terus berbicara, entah apa, saya berusaha mengusir rasa takut saya. Sumpah, saya tak bermaksud memainkan takdir Tuhan.

Setelah saya kebal, saya mendengar Nyai Uban menyiapkan alat-alat untuk mengoperasi. Dan sebentuk besi ditempel di dada saya, besi ini seperti memiliki dua bilah yang bergerak menutup dan membuka, ia berjalan di sepanjang garis ulu hati saya, dan berbunyi "kress..kress." Astaga! Dada saya tengah digunting!!!! Bila besi itu adalah gunting besi besar yang biasa dipakai memotong bahan untuk pakaian, maka kali ini dada saya yang digunting bak kain perca tak berdaya.

Saya masih tetap sadar, saya juga bisa merasakan dada saya menganga. Seperti halaman buku yang dibuka membelah, rasanya dingin dan terbuka lebar. Dan saya masih terus saja mengoceh. Pikiran saya kalut mengangkasa, kusut mengira-ngira, apakah yang sedang terjadi pada saya.

Sayup di luar saya dengar, lirih suara Ganesha meratapi saya. Dipanggilnya saya, dimintanya kepada ibu saya, agar dipertemukan dengan saya segera. Saya mengepalkan tangan, menguatkan hati. Dengan sadar, saya berdoa di dalam kalbu, meminta pertolongan Tuhan yang selama ini saya jauhi. Saya merasa hina, merasa hanya seberkas debu di hadapanNya. Apalah saya ini. Sudah hancur berkeping dan masih saja Dia beri saya nafas dengan dada terbelah! Tuhan Maha Gila dengan menciptakan tangan Nyai Uban ini untuk mengoperasi saya. Tak sedikitpun saya merasa sakit atau perih atau segala yang kita bisa bayangkan apabila dada seorang manusia TERBELAH! Ajaib? Ini lebih di luar akal, Saudaraku! Lebih dari pada itu!

Di luar, ibu saya membimbing Ganesha mengangkat kedua tangan seraya berdoa. Tangis Ganesh sesenggukan di sela kata-katany, "Ya owoh..hiks.. Sembuhkan..hiks.. Bunda Ganesh, ya owoh..hiks..."

Saya terus mengucap tasbih, bibir berdzikir, sungguh tak ada lagi yang bisa manusia ucap ketika maut begitu terasa dekat di ujung hidung, melainkan nama Tuhannya. Saya menyerah. Saya mengaku kalah. Dialah Tuhan saya. Dan semua bahagia juga air mata, adalah hadiahNya untuk saya. Saya yang durhaka. Saya yang tak tahu terima kasih. Saya yang selalu memungkiri nikmatNya. Saya yang salah. Dan sudah seharusnya, bila operasi ini berhasil, saya bertaubat nasuha.

Sedetik setelah dada terbelah, saya merasakan aliran basah di seluruh dada. Darah saya ternyata tengah tumpah kemana-mana. Nyai Uban buru-buru mengambil kapas dan kain-kain untuk membersihkan darahnya. Sungguh! Saya tak akan melupakannya seumur hidup! Dengan darah yang masih meluap-luap, gunting dimasukkan ke dalam rongga dada, dengan es plastik yang membantu mengebalkan. Saya tak tahu apa yang terjadi. Nyai Uban bilang kalau dia sedang menggunting katup jantung saya yang dikatakannya rusak dan bocor. Tapi saya tak merasakan apa-apa.

Lalu, beliau meminta saya menarik nafas panjang, sambil tangannya menekan dada saya. Kemudian ketika saya melepas nafas, gejolak darah keluar seperti gelombang air bah dari dalam rongga dada. Dan sesuatu terasa mental keluar dari dalam tubuh saya, lalu jatuh di sisi kanan tangan saya. Saya tak tau itu apa, tapi tak terlalu besar, dan terasa membal dan lunak. Nyai Uban melakukan gerak cepat. Entah apa. Tak lama dada saya seperti dijahit dan digunting lagi. Kemudian dipakaikan perban dan selesai.

Mas Suami, ibu, Ganesha, dan sepuh-sepuh saya diminta masuk kamar. Semuanya bergidik. Melihat bekas darah di sekitar tubuh saya. Dan mereka ngeri melihat bekas operasi di sepanjang dada saya yang kemerahan, tertutup kapas-perban. Mereka menyebut-nyebut Tuhan, ketika di atas bekas jahitan mistikal itu, Nyai Uban menekankan tangannya seakan merekatkan jaitan. Saat saya membuka mata, saya kaget bukan kepalang, saya lihat sendiri daging hitam seperti ati-ampela yang ternyata adalah katup jantung saya.

Nyai Uban membekali saya obat, dan pesan-pesan agar saya pantang makan beberapa hal. Dan tahukah Anda, Saudaraku? Siapa yang paling ingat hal-hal pantangan itu dan selalu mengucapkannya untuk mengingatkanku? Dialah Ganesha. Dengan suara riangnya, dengan logat cadelnya, dengan gerakan jarinya yang seperti menghitung, "Bunda nda boleh makan pedes, es, santen, cama ayam. Cepet sehat donk, Bunda," katanya selalu.

Dan percaya atau tidak, mau-tak mau Anda harus percaya, dalam 2 hari ketika saya kembali ke Nyai Uban untuk kontrol kondisi, luka bekas operasi hilang tanpa gurat sama sekali!
2 bulan saya menjalani pemulihan. 2 bulan mendekam di rumah hanya untuk berusaha sehat dan menjadi manusia sewajarnya, seutuhnya lagi. 2 bulan yang sangat intim dengan Ganesha. 2 bulan yang amat bersahabat dengan Mas Suami, meski di sela kesibukannya kerja. 2 bulan yang artinya amat mendalam untuk saya bisa menyadari, bahwa nyawa saya, nafas saya hingga saat ini, adalah hutang saya pada Ganesha. Ganeshalah yang menyelamatkan saya dari jemputan maut Tuhan. Doa dan tangis manjanya yang ia tebus kepada Tuhan untuk membayar suratan maut Tuhan atas saya. Dia, malaikat pelindung saya.

2 bulan masa penyembuhan itu saya berfikir. Masa depan saya sudah tak sedemikian penting lagi karena hari tua saya adalah sepenuhnya bersama Ganesha. Tak seharusnya saya egois lagi, mementingkan kesenangan sendiri. Lagi pula, apa lagi yang saya cari? Saya hidup cukup, Mas Suami setia dan bertanggung jawab penuh atas kebahagiaan kami, dan Ganesha yang selalu mendoakan saya, juga orangtua yang pada akhirnya hidup rujuk bahagia di hari tua.

Akhirnya, tepat pada 11 Juli 2011, saya menjejakkan kaki di sekolah pertama Ganesha. Ia TK sekarang. Ini adalah hari pertamanya mengenakan seragam sekolah dan belajar dengan ibu guru dan teman-teman. Saya bangga padanya. Dan tepat pada hari itu juga, saya datang ke kantor saya. Ke tempat kerja keras yang tak kenal waktu. Ke tempat yang tadinya saya anggap tak manusiawi karena pressurenya teramat keras untuk saya. Saya berikan surat pengunduran diri saya yang di dalamnya saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Bila saya tak merasakan kerasnya kantor ini, mungkin saya tak akan pernah menghargai Ganesha dan arti hidup sesungguhnya di tengah keluarga.

Saya tak perlu lagi sibuk mencari pengakuan diri di mata dunia. Tugas saya selanjutnya begitu besar di depan. Bila kemarin-kemarin, saya sibuk berencana untuk masa depan gemilang saya, sekarang sudah saatnya saya menjadikan Ganesha terbaik di seumur hidupnya. Saya tak perlu berusaha menerbitkan karya besar karena Ganesha-lah masterpiece saya. Saya ikhlas menjadi full-time-mother untuknya kini.

Tentu saja profesi sebagai ibu bukanlah sembarang profesi. Pekerjaan ini menyangkut hidup dan mati. Kantor saya sekarang adalah kantor Tuhan. Yang gajinya adalah pahala. Dan kelak, bila saya mati nanti, hanya doa Ganesha yang mengantarkan saya ke syurga abadi.(*)