Minggu, 02 Oktober 2011

Catatan Depresi

Kunamai hari ini adalah "Hari yang sangat huuffth.."
3 tahun sudah aku di rumah dan tak melakukan apapun. Tidak kreatif, tidak produktif, bahkan tidak senang-senang juga. Sama sekali stagnan dan jenuh. Hanya mengurus anak dan mengurus rumahtangga. Betapa jenuhnya, hingga tegangan tinggi sampai ke ubun-ubun. Seringkali stres itu meledak dan selalu saja orang-orang terdekatku yang menjadi korban. Padahal merekalah yang paling kusayang tapi parahnya, mereka sekaligus menjadi sasaran pelampiasan kemarahanku. Tak hanya kepada mereka, akupun ternyata telah menyakiti diriku sendiri.
Aku adalah pengidap asma dan tanpa kusadari, semakin aku stres, semakin parahlah asmaku bila kambuh. Semua tempat pusat kesehatan yang kudatangi tak membenarkan jika aku adalah pasien asma. Mereka semua menyatakan sesak nafasku terjadi karena beban pikiran. Padahal aku sangat tersiksa bila asma ini tiba. Rasanya sakit minta ampun, seperti sakaratul. Batas antara bertahan hidup dan kematian itu rasanya teramat tipis sekali. Hanya berbatas sebuah nafas, dan nafas itu begitu tipis layaknya benang piano. Bila meregang dan ditarik sedikit saja, putuslah, hilanglah sudah nyawaku.

Namun anehnya, aku selalu mengatakan ingin mati saja ketimbang memperbaiki semua. Padahal konsep berkeluargaku amat jelas, lengkap pula fasilitas, ide-ide agar merasa lebih hidup juga mengalir deras, namun semangat itu, memuai dimana entah.
Aku mendatangi banyak orang, mengeluhkan pada mereka tentang kemunduran hidupku ini, dan semua orang justru pergi. Kata mereka, justru akulah yang tengah membunuh diriku sendiri dengan selalu bersikap negatif begini.
Akupun kesal pada diriku sendiri. Apakah yang terjadi pada dirikupun, aku tak mengerti. Duniaku berjalan mundur, dan berubah menjadi kelam pekat yang hanya berisi air mata dan kemarahan. Semua hal yang manis dan ceria dulu, hilang.
Anakku adalah korban paling utama yang nomor satu paling menderita dengan sakit jiwaku ini. Sebenarnya ia adalah anak laki-laki yang manis. Rambutnya keriting, bermata besar, hidung jambu, dan bibir merah mungil, giginya rapih rata seperti ayahnya. Di usia 3 tahunnya, ia telah menunjukkan kecerdasannya. Banyak sekali hal yang ditanyakannya, ia cerewet, dan ia senang sekali menyanyi. Seharusnya aku bahagia membesarkannya. Tapi lebih seringnya, anugerah Tuhan ini, kuaniaya.
Sampai kapanpun dan bila kutanyakan pada siapapun di dunia ini, pastilah aku yang salah. Akulah yang memang tak mampu menjadi ibu yang baik. Bocah lelaki seusianya memang sedang lincah, sedang cerewet, dan sedang nakal-nakalnya. Khasnya balita. Tapi bagaimana dengan anakku? Aku memukulinya. Seringkali, aku justru ketakutan karena setiap kali aku memukulinya, ia akan menangis, lalu tidur, dan kukira ia telah mati. Aku menjadi amat paranoid. Dan ini terjadi tak hanya sekali dua.

Hari ini, aku ditampar dengan berita tentang bayi bernama Feri yang dianiaya ibunya. Aku merasa mual ketika melihat di layar televisi, Feri dengan seluruh tangan dan sekaligus kakinya terpaksa di-pen, karena patah semua tulangnya. Lalu kulihat anakku, apakah aku tega membuatnya menjadi seperti Feri yang malang? Siapakah aku yang selama ini menghajar anakku bila ia sedikit saja melakukan kesalahan? Apa hakku yang melampiaskan semua frustasiku pada anakku padahal aku susah payah melahirkannya dulu? Sudah tak punya hatikah aku? Sementara melihat berita bayi Feri, aku menitikkan air mata, lalu kemana kasih sayangku terhadap anakku sendiri, jika aku selalu menjadikannya bulan-bulanan stres yang kualami? Masihkah aku manusia atau sudah menjadi setan kini? Tidddaaaakk!!


Aku merasa ada yang aneh dalam diriku, dalam jiwaku, perubahan mentalku. Mungkin aku memang benar-benar sakit jiwa. Tapi sungguh tak ada yang bisa menolongku selain diriku sendiri. Curhat dengan seorang kawan amatlah menolong. Amat melegakan. Berbincang dengan seorang teman yang dulu sama-sama bekerja di bidang kreatif, sangat menginspirasi dan berhasil membuat hasratku perlahan bangkit lagi. Benar-benar bersyukur masih dikelilingi lingkaran persahabatan yang tulus dari beberapa teman. Berarti hanya tinggal aku yang harus mulai melawan diriku sendiri. Mampukah? Harus! Indeed.



*matamu jgn curiga gitu donk! Aku masih dan akan terus berusaha menjadi manusia kok. Hatiku masih milik Ganesh.




Ganeshauman Taqwa, my sun-son


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Send me your words