Selasa, 07 Februari 2012

Antara mimpi dan dejavu. Imaji atau memori?

Kubuka lagi dua belah mataku entah untuk yang keberapa kali. Kutarik nafas panjang dan membuangnya ke segara kebisuan ruangku. Waktu telah berjalan hingga pukul lima pagi ini. Aku tetap gagal mencoba pulas tertidur. Buku di tanganku telah habis kulalap, buku bertitel “Penafsir Kepedihan” milik Jhumpa Lahiri itupun terkulai menutup di balik selimutku.

Tadinya aku berharap bisa merasakan nikmatnya tidak menyadari bahwa pada suatu ketika aku sudah lelap bermimpi. Tapi, apa yang kurasa saat ini malah menyiksa seluruhku. Berdoapun sudah tiada berarti lagi!

Aku bangkit, mengelinting “kotoran” dalam balutan sutera putih, yang di ujungnya runcing untukku bakar. Satu tanganku yang lain menekan tombol pencipta irama, dan mengalirlah musik usungan band cadas legendaris dari Bandung, Puppen di seluruh jagat raya. Khalayak ramai ber-pogo ria di dalam telingaku. Tapi mata, kepala, dan otakku tetap diam. Tak bergerak, dan tetap kosong.

Dua linting “pocongan” kecil habis dan menyisakan kelabu di awang-awang, kadang aku malu mengakui kalau aku sesak menghisapnya. Sesaat kemudian pita hitam Puppen pun telah habis terputar.

Di depanku ada wajah seseorang. Ooh… itu wajahku rupanya! Aku tengah bercermin detik ini. Mataku menatap langsung pada rongga matanya. Merah! Mabuk! Tapi tetap sadar! Kubuka lebar mulutku, menanyakan siapa dia, tapi tidak ada jawaban.

Dan lebih bodohnya, wajah di cermin itu malah mengikuti tiap gerakan mulutku, tiap kedipan mataku, mengikuti perputaran bola mataku. Akhirnya aku mengalah, tepatnya hatiku yang mengalah. Hatikulah yang menanyakan identitas itu kepada ruhku, dan pelan-pelan aku mulai meraba jawabannya…

“Aku adalah orang yang kuat, aku berdiri di atas bayang-bayangku sendiri, dengan tulang-tulang dan daging yang saling berpelukan dalam satu tubuh. Dengan otak dan pikiran yang melahirkan prinsip-prinsip kuat sepanjang hidupku. Jiwa dan hatiku mengatur hidup dan menguatkan kakiku ‘tuk melangkahinya.

Di daun telingaku, bergelayutlah empat logam besi menjepit, dan di dalam rumah siputku bergumullah musik-musik tidak lembut yang selalu setia mewakilkan keakuanku. Serta, di punggung kiriku terlukis dengan indah tribal hitam-merah yang bercinta di pori-pori kulitku. Setidaknya aku berkuasa atas raga srikandiku ini.”

“Aku adalah manusia yang punya harga diri, walau kadang aku menemukannya berada di bawah. Tapi aku tetap punya harga diri yang sangat bernilai artinya. Angkasapun tak ‘kan mungkin menang dariku.”

Sejenak aku merapat pada cermin dihadapanku. Mataku memicing. Mendapati sesuatu, entah apa itu. Kalbuku membisiki, ach..air…APA?! Ada dua titik air di ujung mataku. Rasanya hangat, tenang. Lalu tumpah mengalir ke bibirku, aku sempat menelannya hingga kuputuskan untuk menghapusnya dengan telunjukku.

Aku tidak berniat mengamatinya, hanya saja aku secara sadar atau tidak, meletakkan butirannya di dadaku, tepat di permukaan kulit pembatas dinding jantungku. Berdenyut sebentar untuk kemudian hilang bergetar. Lalu memoriku menganga. Tiba-tiba saja kunjunganku ke sebuah gig beberapa bulan lalu terputar kembali. Layaknya episode kisah sinetron, semua tampil di pentas ingatanku…

Aku tenang hari itu, semua biasa saja, sampai sebuah kharisma mengitari nafasku, saat itulah aku percaya dia sangat istimewa. Dia berdiri sendiri, menatap langkah kakinya di depan, mulutnya terkunci tanpa tersenyum, hidungnya menjulang di sisi pembaringan Tuhan, dan rambutnya ikal diikat, sisanya keriting menjuntai tak beraturan.

Emas.. diseluruh tubuhnya berpendar. Setiap yang melukisnya akan berharap memeluk. Tapi dia tidak ingin. Dia tetap mempertahankan ketidakmampuannya sendiri. Dia tidak memperjuangkan sesuatu untuk memenangkan indahnya gejolak. Dan tanpa dia ketahui, dia juga telah membiusku perlahan.

Aku memang tidak pernah kontak langsung dengan matanya, aku juga tidak pernah menyalami tangannya, tapi aku tahu pasti…dia begitu hangat seperti sinar mentari di pagi hari, sekaligus dia dingin sedingin gunung es yang mengeksekusi Titanic sekalipun.

Aku mendambanya, aku berangan dia menerima sesuatu, atau paling tidak dia rela menitipkan untuk sekejap saja menoleh dan mengabadikan senyumnya padaku. Tapi, tidak ada! Jangankan berlutut di air mukaku, menyadari kehadirankupun, omong kosong! Percayalah... dia tetap sehangat mentari pagi, dan dia tetap sedingin gunung es.

Aku merasa bagai jarum penunjuk detik di antara bilangan-bilangan waktu. Aku tipis, aku ada, tapi tidak berpelangi di sayapnya. Aku berusaha menguatkan jiwaku. Meski terguncang hebat, aku mendarat kembali di kehidupanku. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga terhenti pada suatu senja….

Matahari meredupkan sinarnya, berpamitan pada anai-anai berukiran rapuh. Aku mereguk hangatnya sebelum dia benar-benar pulang. Lalu, berganti kehadiran bulan dan bintang-bintang di syahdunya malam hari. Bulan yang buta, layaknya keteduhan tatapan yang tak menangkap sosokku, dan gemintang yang bisu, layaknya ketidakpedulian kata-kata yang tak diperdengarkan padaku.

Aku mengingatnya. Terlebih lagi, aku merasa kesakitan karena aku memuja dan mengaguminya. Ternyata pesonanya menyeruak keluar, memberontak dari kotak hitam kecil di sudut hatiku. Jelas sudah, selama ini dia tetap berkobar di hatiku. Dia tetap menyelimuti nafasku, “aku jatuh cinta!!” Ya, aku jatuh cinta, Jaa..tuuh…cin..taa.. Jaaaa…tuuuuh…ciiiiiiinn..ttaaa….

Sayangnya, hingga aku lelah bercerminpun, aku tidak memilikinya. Aku tidak menggenggam wujudnya. Aku pernah menceritakan hasratku lewat embun pagi kemilau yang menyegarkan, bahwa aku sangat mengaguminya.

Tapi, embun pagi menguap habis bersama demam di seluruh penjuru dunia. Aku sangat menyesal telah mengobrak-abrik tatanan hatinya, tapi kemudian aku merasa ragu berkepanjangan. Karena dia tidak bergeming tanpa pernah menyakitiku, menyalahkanku karena menodai kesucian asa.

Aku tetap seperti ini. Aku tetap tersiksa tak berusaha menggapainya. Aku sekarat tanpa pernah mengecupnya. Tiada daya, tiada upaya. Aku mencintainya seperti ini. Dengan tanpa merusak dirinya, tidak bersatu dalam hidupnya. Kecintaan ini tetap maya, tetap kekal, bagai kematian yang sejati.

Berharap tidak terbakar di sinar matanya, karena aku mencintainya dengan bebas, ringan, tidak luka, tidak berdarah. Entah dimana kisah ini akan habis. Hanya biarkan saja aku nikmati nyeri ini. Dalam! Tinggi! Membumbung ke nirwana dewa. Hingga saat ini, gig yang ke-sembilan puluh dua kali kuhadiri…. Dan cinta itu tetap terbang mengitari langkah bekunya, tanpa aku pernah tersenyum padanya.
…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Send me your words